102. PERINTAH MENAHAN AMARAH
Teks Hadits
يَا
عَلِي: إِيَّاكَ وَالْغَضَبَ فَإِنَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَهُوَ أَقْدَرُ مَا
يَكُونُ عَلَيْكَ فِي حَلَةِ الْغَضَبِ، وَإِيَّاكَ وَدَعْوَةَ الْمَظْلُومِ
فَإِنَّ اللَّهَ يَسْتَجِيبُ لَهُ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ.
Terjemahan
"Wahai Ali, hati-hati dengan kemarahan,
karena sesungguhnya ia berasal dari setan, dan ia adalah yang paling mampu
menguasaimu dalam keadaan marah. Dan hati-hati dengan doa orang yang teraniaya,
karena sesungguhnya Allah mengabulkannya, meskipun dia seorang kafir, maka itu
adalah akibat dari kekafirannya."
Dalil dari Al-Qur'an
1. Tentang
Bahaya Marah: Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: Surah Al-Imran
(3:134)
وَالَّذِينَ
يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالَّذِينَ كَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالَّذِينَ عَفَوْا عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
Terjemahan: "Dan
orang-orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang dan sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al-Imran: 134)
2. Tentang
Doa Orang Teraniaya: Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: Surah
Al-Baqarah (2:186)
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ.
Terjemahan: "Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)
Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Di
Tempat Kerja: Saat mengalami konflik dengan rekan kerja atau atasan,
penting untuk mengingat hadits ini. Jika seseorang merasa marah, dia bisa
mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri, berdoa, atau bahkan
meninggalkan ruangan sejenak untuk merenung sebelum merespons. Ini dapat
membantu mencegah perkataan atau tindakan yang bisa merusak hubungan.
2. Dalam
Keluarga: Ketika
ada perdebatan antara anggota keluarga, seperti pasangan atau anak, seringkali
emosi dapat memicu pertengkaran. Dengan mengingat bahwa kemarahan berasal dari
setan, seseorang dapat memilih untuk bersikap tenang, mendengarkan, dan
berusaha menyelesaikan masalah dengan dialog yang baik daripada membiarkan
kemarahan menguasai.
3. Dalam
Situasi Publik: Saat menghadapi provokasi dari orang asing atau saat
terlibat dalam situasi yang memicu kemarahan, seperti kemacetan lalu lintas
atau antrian panjang, mengingat hadits ini dapat membantu seseorang untuk tetap
tenang. Menghindari kemarahan dan mengingat bahwa doa orang teraniaya didengar
Allah dapat mendorong seseorang untuk bersabar dan tidak bereaksi negatif.
Kesimpulan
Hadits ini mengingatkan kita untuk menjaga emosi,
khususnya kemarahan, dan untuk selalu bersikap sabar. Dalam menghadapi situasi
yang memicu kemarahan, kita harus berusaha untuk mengendalikan diri dan
mengingat bahwa kemarahan dapat memicu perilaku yang tidak diinginkan. Selain
itu, hadits ini juga menekankan kekuatan doa, terutama doa orang yang
teraniaya, yang selalu didengar oleh Allah. Mengamalkan prinsip-prinsip ini
dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kita pada kedamaian dan hubungan yang
lebih baik dengan orang lain.
Pengertian Marah
Marah adalah perasaan
batin yang kuat berupa emosi dan ketidakpuasan yang muncul ketika seseorang
merasa terancam, diperlakukan tidak adil, atau frustrasi karena suatu keadaan
tertentu. Marah merupakan respons emosional alami dan dapat menjadi bagian dari
fitrah manusia, tetapi menjadi masalah ketika seseorang tidak dapat
mengendalikannya atau mengekspresikannya dengan cara yang tepat.
Dalam Islam, marah adalah sifat yang harus
dikendalikan dan diatur. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ:
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa seseorang berkata kepada Nabi ﷺ,
“Berilah aku wasiat.” Beliau bersabda, “Jangan marah.” Orang itu mengulang
permintaannya beberapa kali, namun beliau tetap bersabda, “Jangan marah.”
(HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan
bahwa Nabi ﷺ menasihati orang tersebut untuk tidak marah, dan beliau
mengulang nasihat tersebut beberapa kali, yang menunjukkan betapa pentingnya
menahan amarah dan mengendalikan diri.
Definisi Marah
Marah terdiri dari
serangkaian reaksi emosional dan fisiologis yang sering kali disertai dengan
peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Ekspresi marah tergantung pada
kepribadian seseorang dan cara ia dibesarkan. Marah dapat muncul melalui
kata-kata, perilaku agresif, atau bahkan serangan fisik.
Contoh Pengendalian Marah dalam Kehidupan
Sehari-Hari
- Memaafkan: Seperti
memaafkan orang lain dan menghindari balas dendam, yang dapat meningkatkan
rasa kasih sayang dan mengurangi ketegangan.
- Bernapas
dalam-dalam dan bersantai: Ini membantu menenangkan diri dan
mengurangi intensitas marah.
- Berbicara
dengan lembut: Menyampaikan perasaan dengan cara yang
tenang dapat membatasi reaksi yang keras.
hadits Nabi
Muhammad SAW tentang pengendalian marah dengan cara berwudhu atau duduk:
1.
Cara berwudhu untuk
meredakan marah
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud, Nabi SAW bersabda:
"إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ"
"Jika salah seorang dari
kalian marah, maka berwudhulah."
(HR.
Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits
ini menunjukkan bahwa berwudhu dapat menenangkan dan meredakan amarah, karena
marah diibaratkan api, sedangkan wudhu dengan air dapat meredakannya.
2.
Cara duduk untuk
mengendalikan marah
Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda:
"إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ
عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ"
"Jika salah seorang dari
kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya belum reda, maka
berbaringlah."
(HR.
Abu Dawud)
Dalam
hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan untuk mengubah posisi tubuh sebagai cara
untuk mengendalikan emosi. Duduk atau berbaring dapat membantu menurunkan
ketegangan dan mengontrol amarah.
APAKAH
ADA MARAH YANG DIPERBOLEHKAN DALAM ISLAM!
Ya, dalam
Islam ada jenis marah yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, yaitu marah karena
Allah (غَضَبُ للهِ). Marah
yang diperbolehkan ini adalah marah yang timbul bukan karena kepentingan
pribadi, melainkan karena membela kebenaran, keadilan, dan syariat Allah. Marah
seperti ini bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai agama dan kebaikan, bukan
karena keegoisan atau kepentingan duniawi.
Contoh
Marah yang Diperbolehkan dalam Islam
1.
Marah
terhadap Kemaksiatan dan Kedzaliman Nabi
Muhammad ﷺ
menunjukkan marah dalam beberapa situasi di mana syariat Allah dilanggar atau
ada kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan. Misalnya, ketika ada
pelanggaran yang serius terhadap aturan Allah, Rasulullah marah untuk
menegakkan kebenaran dan mengingatkan umatnya akan pentingnya menjaga
ketakwaan.
2.
Marah
saat Kehormatan Islam Dilecehkan Islam memperbolehkan
marah ketika agama, Nabi ﷺ, atau
Al-Qur'an dihina atau direndahkan, selama marah tersebut diungkapkan dengan cara
yang tepat, tidak melanggar etika, serta tetap bertujuan menjaga martabat dan
kehormatan agama.
3.
Marah
dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam konteks menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran, jika seseorang menyaksikan pelanggaran yang
nyata, ia diperbolehkan marah untuk mengingatkan atau menegur dengan niat
memperbaiki, bukan mencela. Namun, sikap marah harus tetap dikendalikan dan
tidak berlebihan.
Hadits
tentang Marah karena Allah
Dari Abu
Hurairah رضي الله عنه, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَضَبُ لِلَّهِ
"Seorang mukmin itu marah karena Allah."
(HR. Ahmad)
Prinsip
dalam Marah yang Diperbolehkan
Meskipun
marah karena Allah diperbolehkan, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan:
- Tidak Berlebihan:
Marah harus tetap terkendali dan tidak berlebihan agar tidak menyakiti
orang lain secara fisik atau emosional.
- Niat yang Lurus:
Marah ini harus dilandasi dengan niat untuk menegakkan kebenaran dan bukan
karena kepentingan pribadi.
- Tetap dalam Batasan Adab dan
Akhlak: Marah tetap harus diungkapkan dengan
cara yang baik, menghindari perkataan kasar, serta tidak bertindak
agresif.
Dalam
kehidupan sehari-hari, marah yang diperbolehkan bisa berupa menegur seseorang
yang melanggar aturan, mengingatkan teman atau keluarga tentang pentingnya
menjaga akhlak, dan bersikap tegas dalam menghadapi pelanggaran agama.
Ya,
Rasulullah ﷺ pernah
marah, namun marahnya beliau berbeda dari manusia pada umumnya. Rasulullah ﷺ memiliki sifat penuh kasih, lembut, dan pemaaf, dan amarahnya
selalu terkontrol serta tidak pernah keluar dari batas-batas adab dan keadilan.
Saat beliau marah, itu bukan karena urusan pribadi atau kepentingan diri
sendiri, melainkan karena alasan prinsip atau ketika melihat pelanggaran
terhadap hukum Allah.
Contoh
Ketika Rasulullah ﷺ Marah
1.
Pelanggaran
Terhadap Hak-Hak Allah Rasulullah ﷺ marah ketika melihat ada pelanggaran terhadap perintah atau
larangan Allah. Salah satu contohnya adalah ketika seseorang melanggar kesucian
hari Jumat atau hal-hal yang merusak kehormatan masjid. Dalam hadits riwayat
Imam Muslim, Rasulullah ﷺ
dikisahkan memerintahkan tindakan tegas terhadap perilaku yang tidak
menghormati kesucian tempat ibadah atau waktu-waktu tertentu.
2.
Ketidakadilan
atau Ketidakbenaran Rasulullah ﷺ pernah marah ketika ada yang berbuat tidak adil atau zalim.
Ketika ada seseorang yang menuduh tanpa dasar yang benar atau ketika beliau
melihat ada yang menyakiti orang lain dengan sengaja, beliau menegurnya dengan
tegas. Sebagai contoh, dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah ﷺ pernah marah ketika melihat adanya perilaku kasar atau
menyakiti seorang budak.
3.
Marah
karena Kesalahan yang Berulang Rasulullah ﷺ marah dalam bentuk peringatan tegas jika seseorang terus
mengulangi kesalahan atau kemaksiatan yang telah dilarang. Misalnya, ada hadits
yang menceritakan beliau menegur sahabat yang berkali-kali mengulangi kesalahan
yang sama, namun selalu dalam bingkai kelembutan dan harapan agar mereka
memperbaiki diri.
Karakter
Marah Rasulullah ﷺ
- Tidak Pernah Marah karena
Diri Sendiri: Beliau tidak pernah marah
ketika dirinya disakiti atau direndahkan, bahkan beliau memaafkan mereka
yang berbuat jahat padanya.
- Mengontrol Amarahnya:
Rasulullah ﷺ
selalu mengendalikan diri saat marah. Beliau tidak berkata kasar atau
melakukan tindakan yang menyakiti fisik.
- Memberi Solusi:
Ketika marah, Rasulullah ﷺ tidak hanya menegur tapi juga memberi solusi dan arahan
agar orang yang ditegur dapat memperbaiki kesalahannya.
Dalil
tentang Amarah dalam Islam
Dalam
Al-Quran, Allah menyebutkan sifat menahan amarah sebagai sifat yang terpuji:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ
النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
"Dan
(bagi) orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."
(QS. Ali Imran: 134)
Contoh
Teladan Ulama
Para
ulama pun mencontoh Rasulullah ﷺ dalam hal ini. Mereka hanya marah jika melihat kemaksiatan atau
ketidakadilan yang nyata, tapi tetap menahan diri dan mengarahkan kemarahan
mereka untuk memberi peringatan atau solusi yang membangun.
Dengan
memahami bagaimana Rasulullah ﷺ
mengontrol amarah, kita bisa belajar menahan diri dan marah hanya untuk tujuan
yang benar, selalu menjaga sikap dalam bingkai kebaikan.
Hadits
"لا تغضب ولك الجنة" atau "Jangan marah, maka bagimu surga," adalah
nasihat dari Rasulullah ﷺ yang ringkas namun sangat mendalam
maknanya. Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa ulama, termasuk Imam Ahmad
dalam Musnad-nya, dan pesan utamanya adalah untuk mengendalikan amarah, sebuah
sifat yang sulit namun mendatangkan pahala besar bagi orang yang mampu
menahannya.
Penjelasan
Hadits
1.
Makna
"Jangan Marah"
Rasulullah ﷺ menasihatkan kita untuk menahan atau mengendalikan amarah,
bukan hanya karena marah itu sendiri tidak bermanfaat, tetapi karena seringkali
amarah mengarahkan manusia pada tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang
lain. Rasulullah ﷺ tahu bahwa menahan amarah adalah salah satu tantangan terbesar
dalam kehidupan manusia, dan oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya
kontrol diri dalam menghadapi situasi yang memicu amarah.
2.
Pahala
Surga bagi yang Menahan Amarah
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ mengaitkan menahan amarah dengan balasan surga. Hal ini
menunjukkan betapa besar ganjaran bagi orang yang mampu menahan emosinya dan
memilih untuk bersabar. Amarah yang dikendalikan bisa mendekatkan seseorang
kepada Allah dan menjauhkannya dari tindakan dosa yang bisa merusak hubungan
sosial maupun ibadahnya.
Imam
Asy-Syafi'i rahimahullah terkenal dengan kemampuannya menahan amarah. Suatu
kali, ada seseorang yang berbicara kasar kepadanya, namun beliau menanggapinya
dengan tenang. Ketika ditanya kenapa tidak membalas orang tersebut, Imam
Asy-Syafi'i menjawab, "Jika aku marah, aku hanya menambah kesenangan bagi
syaitan dan kerugianku sendiri."
Contoh
dari Imam Asy-Syafi'i ini mencerminkan bagaimana seorang ulama besar memilih
untuk tidak larut dalam amarah dan lebih mengutamakan ketenangan serta pemaafan
dalam menghadapi gangguan dari orang lain.
Surat
Al-Hujurat Ayat 11:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ
قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن
نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الظَّـٰلِمُونَ
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum
yang lain, bisa jadi mereka (yang direndahkan) lebih baik daripada mereka (yang
merendahkan). Dan jangan pula perempuan-perempuan (merendahkan) perempuan lain,
bisa jadi perempuan (yang direndahkan) lebih baik daripada perempuan (yang
merendahkan). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang
buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim."
Definisi
Kata-Kata Kunci:
1.
يسخر (yaskhar) -
Merendahkan atau mengejek.
2.
يلمز (yalmiz) -
Mencela atau menyakiti perasaan.
3.
ألقاب (alqab) - Gelar
atau julukan yang merendahkan.
4.
الفسوق (al-fusuq) -
Tindakan fasik atau pelanggaran setelah beriman.
Hadits
yang Relevan:
1.
Dari Abu
Hurairah r.a., Nabi ﷺ
bersabda:
"Cukuplah
seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia meremehkan saudaranya sesama
Muslim." (HR. Muslim)
2.
Dari Abu
Darda’ r.a., Rasulullah ﷺ
bersabda:
"Barang
siapa menjaga kehormatan saudaranya dari gunjingan, Allah akan menjaga wajahnya
dari api neraka pada hari kiamat." (HR. Tirmidzi)
Contoh
dalam Kehidupan Sehari-Hari:
- Merendahkan Sesama:
Seorang siswa yang mengejek temannya karena nilai yang lebih rendah atau
kondisi fisiknya. Dalam Islam, perbuatan ini dilarang karena hanya Allah
yang tahu siapa yang lebih mulia di sisi-Nya.
- Memberi Julukan Buruk:
Memanggil teman dengan julukan yang tidak disukai, seperti “si gendut”
atau “si bodoh.” Ini adalah perbuatan yang bisa melukai perasaan orang
lain, bahkan merusak persaudaraan.
- Mencela Diri Sendiri:
Hal ini bisa diartikan sebagai saling mencela sesama Muslim, karena dalam
Islam, setiap Muslim dianggap satu tubuh. Jika kita mencela seorang
Muslim, sama saja kita mencela diri sendiri.
Surat
Al-Hujurat Ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًۭا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌۭ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا
يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًۭا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌۭ
رَّحِيمٌۭ
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian
yang lain. Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang."
Definisi
Kata-Kata Kunci:
1.
الظن (az-zhan) -
Prasangka, biasanya diartikan sebagai asumsi buruk tanpa dasar.
2.
تجسس (tajassus) - Mengintai
atau mencari kesalahan orang lain.
3.
غيبة (ghibah) -
Menggunjing, yaitu membicarakan keburukan orang lain di belakangnya.
Hadits
yang Relevan:
1.
Nabi ﷺ bersabda:
"Jauhilah
prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan. Jangan mencari-cari
kesalahan orang lain, jangan saling memata-matai, jangan saling mendengki,
jangan saling membenci, dan jangan saling berpaling. Jadilah hamba Allah yang
bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)
2.
Tentang
ghibah, Nabi ﷺ
bersabda:
“Tahukah
kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih
tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kamu menyebutkan sesuatu yang tidak disukai
saudaramu di belakangnya.” Kemudian para sahabat bertanya, “Bagaimana jika apa
yang saya katakan itu benar?” Beliau menjawab, “Jika benar, maka itu ghibah.
Jika tidak benar, maka itu adalah fitnah.” (HR. Muslim)
Contoh
dalam Kehidupan Sehari-Hari:
- Prasangka Buruk:
Misalnya, melihat seseorang dengan penampilan sederhana lalu berpikir
bahwa orang tersebut mungkin kurang berpendidikan atau miskin. Prasangka
tanpa bukti ini bisa melahirkan dosa.
- Mencari Kesalahan Orang Lain:
Sering terjadi di media sosial, di mana seseorang mencari kesalahan publik
figur atau teman untuk dibicarakan. Tindakan ini sangat dilarang dalam
Islam.
- Menggunjing (Ghibah):
Ketika seseorang membicarakan kekurangan atau kesalahan orang lain di
belakangnya, ini disebut ghibah. Hal ini bisa terjadi dalam lingkungan
kerja atau pertemanan, saat membicarakan seseorang dengan maksud
mempermalukan atau merendahkannya.
Pelajaran
dari Ayat 12:
1.
Menghindari
Prasangka Buruk: Prasangka yang buruk tanpa bukti adalah
perbuatan tercela. Kita diajarkan untuk berprasangka baik atau menjaga diri
dari asumsi-asumsi yang tidak berdasar.
2.
Tidak
Mencari Kesalahan Orang Lain: Setiap individu sebaiknya sibuk
memperbaiki diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Islam
menekankan pentingnya menjaga kehormatan orang lain.
3.
Menjaga
dari Ghibah: Ghibah adalah tindakan yang dianggap sangat
buruk dalam Islam. Menggunjing saudara sesama Muslim ibarat memakan dagingnya
saat ia mati, yang mengisyaratkan betapa jijik dan buruknya perbuatan ini.
4.
Takwa dan
Tobat: Ayat ini diakhiri dengan anjuran untuk bertakwa
dan bertobat, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Setiap Muslim
yang terjebak dalam perilaku ini dianjurkan untuk segera bertobat dan
memperbaiki diri.
Kesimpulan:
Ayat 11 dan 12 dari Surat Al-Hujurat mengajarkan kita untuk menjaga adab dalam
pergaulan, menghindari sikap merendahkan, dan selalu menghormati kehormatan
serta privasi sesama. Sikap ini tidak hanya akan menjaga keharmonisan dalam
bermasyarakat, tetapi juga mencerminkan akhlak Islam yang luhur dan memperkuat
persaudaraan umat Muslim.
teks Arab
dari hadits-hadits yang relevan dengan penjelasan ayat 11 dan 12 Surat
Al-Hujurat:
1.
Hadits
tentang larangan merendahkan orang lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْتَقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ.
Artinya:
"Cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia meremehkan
saudaranya sesama Muslim." (HR. Muslim)
2.
Hadits
tentang menjaga kehormatan saudara dari gunjingan:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Artinya:
"Barang siapa menjaga kehormatan saudaranya dari gunjingan, Allah akan
menjaga wajahnya dari api neraka pada hari kiamat." (HR. Tirmidzi)
3.
Hadits
tentang prasangka, mencari kesalahan, dan ghibah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا تَحَسَّسُوْا وَلَا تَبَاغَضُوْا وَلَا تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا.
Artinya:
"Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan.
Jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan saling memata-matai, jangan
saling mendengki, jangan saling membenci, dan jangan saling berpaling. Jadilah
hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)
4.
Hadits
tentang definisi ghibah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: أَتَدْرُونَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا
تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.
Artinya:
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya
yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kamu menyebutkan sesuatu yang tidak
disukai saudaramu di belakangnya.” Kemudian para sahabat bertanya, “Bagaimana
jika apa yang saya katakan itu benar?” Beliau menjawab, “Jika benar, maka itu
ghibah. Jika tidak benar, maka itu adalah fitnah.” (HR. Muslim)
Berikut
adalah hadits tentang ghibah yang lebih berat dari zina:
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَأَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ قَالَ: إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَسْتَسِبَّ الرَّجُلُ لِوَالِدَيْهِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَغْتَابُهُمْ حَتَّى يَفُوقَ
زِنَاهُمْ، وَذِكْرُهُمْ بِغَيْبَتِهِمْ لَيَكُونُ أَشَدَّ عَلَيْهِمْ مِنَ
الزِّنَى.
Hadits
ini menunjukkan betapa besarnya dosa ghibah, yang digambarkan bahkan bisa lebih
berat daripada dosa zina karena pengaruhnya yang dalam pada kehormatan dan
perasaan orang yang dibicarakan. Meski derajat sanad ini masih diperdebatkan,
para ulama sepakat bahwa ghibah adalah dosa besar yang harus dihindari.
KALAU ADA
ORANG MAKSIAT MAKA YANG DI BENCI ADALAH MAKSIATNYA BUKAN ORANGNYA.
SEPERTI
ORANG PUNYA BISUL DI TANGANNYA MAKA YANG DIBENCI ADALAH BISULNYA BUKAN ORANGNYA
SAMBIL DIA MENGOBATI BISUL AGAR HILANG DARI TUBUHNYA.
Komentar
Posting Komentar