102. PERINTAH MENAHAN AMARAH


Teks Hadits

يَا عَلِي: إِيَّاكَ وَالْغَضَبَ فَإِنَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَهُوَ أَقْدَرُ مَا يَكُونُ عَلَيْكَ فِي حَلَةِ الْغَضَبِ، وَإِيَّاكَ وَدَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّ اللَّهَ يَسْتَجِيبُ لَهُ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ.

Terjemahan

"Wahai Ali, hati-hati dengan kemarahan, karena sesungguhnya ia berasal dari setan, dan ia adalah yang paling mampu menguasaimu dalam keadaan marah. Dan hati-hati dengan doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya Allah mengabulkannya, meskipun dia seorang kafir, maka itu adalah akibat dari kekafirannya."

Dalil dari Al-Qur'an

1.    Tentang Bahaya Marah: Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: Surah Al-Imran (3:134) 

وَالَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالَّذِينَ كَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالَّذِينَ عَفَوْا عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.

Terjemahan: "Dan orang-orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang dan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. Al-Imran: 134)

2.    Tentang Doa Orang Teraniaya: Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: Surah Al-Baqarah (2:186) 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ.

Terjemahan: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186)

Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari

1.    Di Tempat Kerja: Saat mengalami konflik dengan rekan kerja atau atasan, penting untuk mengingat hadits ini. Jika seseorang merasa marah, dia bisa mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri, berdoa, atau bahkan meninggalkan ruangan sejenak untuk merenung sebelum merespons. Ini dapat membantu mencegah perkataan atau tindakan yang bisa merusak hubungan.

2.    Dalam Keluarga: Ketika ada perdebatan antara anggota keluarga, seperti pasangan atau anak, seringkali emosi dapat memicu pertengkaran. Dengan mengingat bahwa kemarahan berasal dari setan, seseorang dapat memilih untuk bersikap tenang, mendengarkan, dan berusaha menyelesaikan masalah dengan dialog yang baik daripada membiarkan kemarahan menguasai.

3.    Dalam Situasi Publik: Saat menghadapi provokasi dari orang asing atau saat terlibat dalam situasi yang memicu kemarahan, seperti kemacetan lalu lintas atau antrian panjang, mengingat hadits ini dapat membantu seseorang untuk tetap tenang. Menghindari kemarahan dan mengingat bahwa doa orang teraniaya didengar Allah dapat mendorong seseorang untuk bersabar dan tidak bereaksi negatif.

Kesimpulan

Hadits ini mengingatkan kita untuk menjaga emosi, khususnya kemarahan, dan untuk selalu bersikap sabar. Dalam menghadapi situasi yang memicu kemarahan, kita harus berusaha untuk mengendalikan diri dan mengingat bahwa kemarahan dapat memicu perilaku yang tidak diinginkan. Selain itu, hadits ini juga menekankan kekuatan doa, terutama doa orang yang teraniaya, yang selalu didengar oleh Allah. Mengamalkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kita pada kedamaian dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain.

 

 

 

Pengertian Marah

Marah adalah perasaan batin yang kuat berupa emosi dan ketidakpuasan yang muncul ketika seseorang merasa terancam, diperlakukan tidak adil, atau frustrasi karena suatu keadaan tertentu. Marah merupakan respons emosional alami dan dapat menjadi bagian dari fitrah manusia, tetapi menjadi masalah ketika seseorang tidak dapat mengendalikannya atau mengekspresikannya dengan cara yang tepat.

Dalam Islam, marah adalah sifat yang harus dikendalikan dan diatur. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi :

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa seseorang berkata kepada Nabi , “Berilah aku wasiat.” Beliau bersabda, “Jangan marah.” Orang itu mengulang permintaannya beberapa kali, namun beliau tetap bersabda, “Jangan marah.”
(HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi menasihati orang tersebut untuk tidak marah, dan beliau mengulang nasihat tersebut beberapa kali, yang menunjukkan betapa pentingnya menahan amarah dan mengendalikan diri.

 

Definisi Marah

Marah terdiri dari serangkaian reaksi emosional dan fisiologis yang sering kali disertai dengan peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Ekspresi marah tergantung pada kepribadian seseorang dan cara ia dibesarkan. Marah dapat muncul melalui kata-kata, perilaku agresif, atau bahkan serangan fisik.

Contoh Pengendalian Marah dalam Kehidupan Sehari-Hari

  • Memaafkan: Seperti memaafkan orang lain dan menghindari balas dendam, yang dapat meningkatkan rasa kasih sayang dan mengurangi ketegangan.
  • Bernapas dalam-dalam dan bersantai: Ini membantu menenangkan diri dan mengurangi intensitas marah.
  • Berbicara dengan lembut: Menyampaikan perasaan dengan cara yang tenang dapat membatasi reaksi yang keras.

 

 

 

hadits Nabi Muhammad SAW tentang pengendalian marah dengan cara berwudhu atau duduk:

1.    Cara berwudhu untuk meredakan marah
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud, Nabi SAW bersabda:

"إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ"
"Jika salah seorang dari kalian marah, maka berwudhulah."

(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Hadits ini menunjukkan bahwa berwudhu dapat menenangkan dan meredakan amarah, karena marah diibaratkan api, sedangkan wudhu dengan air dapat meredakannya.

2.    Cara duduk untuk mengendalikan marah
Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda:

"إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ"
"Jika salah seorang dari kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya belum reda, maka berbaringlah."

(HR. Abu Dawud)

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW mengajarkan untuk mengubah posisi tubuh sebagai cara untuk mengendalikan emosi. Duduk atau berbaring dapat membantu menurunkan ketegangan dan mengontrol amarah.

 

 

APAKAH ADA MARAH YANG DIPERBOLEHKAN DALAM ISLAM!

Ya, dalam Islam ada jenis marah yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, yaitu marah karena Allah (غَضَبُ للهِ). Marah yang diperbolehkan ini adalah marah yang timbul bukan karena kepentingan pribadi, melainkan karena membela kebenaran, keadilan, dan syariat Allah. Marah seperti ini bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai agama dan kebaikan, bukan karena keegoisan atau kepentingan duniawi.

Contoh Marah yang Diperbolehkan dalam Islam

1.    Marah terhadap Kemaksiatan dan Kedzaliman Nabi Muhammad menunjukkan marah dalam beberapa situasi di mana syariat Allah dilanggar atau ada kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan. Misalnya, ketika ada pelanggaran yang serius terhadap aturan Allah, Rasulullah marah untuk menegakkan kebenaran dan mengingatkan umatnya akan pentingnya menjaga ketakwaan.

2.    Marah saat Kehormatan Islam Dilecehkan Islam memperbolehkan marah ketika agama, Nabi , atau Al-Qur'an dihina atau direndahkan, selama marah tersebut diungkapkan dengan cara yang tepat, tidak melanggar etika, serta tetap bertujuan menjaga martabat dan kehormatan agama.

3.    Marah dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam konteks menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, jika seseorang menyaksikan pelanggaran yang nyata, ia diperbolehkan marah untuk mengingatkan atau menegur dengan niat memperbaiki, bukan mencela. Namun, sikap marah harus tetap dikendalikan dan tidak berlebihan.

Hadits tentang Marah karena Allah

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Nabi bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَضَبُ لِلَّهِ


"Seorang mukmin itu marah karena Allah."
(HR. Ahmad)

Prinsip dalam Marah yang Diperbolehkan

Meskipun marah karena Allah diperbolehkan, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan:

  • Tidak Berlebihan: Marah harus tetap terkendali dan tidak berlebihan agar tidak menyakiti orang lain secara fisik atau emosional.
  • Niat yang Lurus: Marah ini harus dilandasi dengan niat untuk menegakkan kebenaran dan bukan karena kepentingan pribadi.
  • Tetap dalam Batasan Adab dan Akhlak: Marah tetap harus diungkapkan dengan cara yang baik, menghindari perkataan kasar, serta tidak bertindak agresif.

Dalam kehidupan sehari-hari, marah yang diperbolehkan bisa berupa menegur seseorang yang melanggar aturan, mengingatkan teman atau keluarga tentang pentingnya menjaga akhlak, dan bersikap tegas dalam menghadapi pelanggaran agama.

 

 

 

Ya, Rasulullah pernah marah, namun marahnya beliau berbeda dari manusia pada umumnya. Rasulullah memiliki sifat penuh kasih, lembut, dan pemaaf, dan amarahnya selalu terkontrol serta tidak pernah keluar dari batas-batas adab dan keadilan. Saat beliau marah, itu bukan karena urusan pribadi atau kepentingan diri sendiri, melainkan karena alasan prinsip atau ketika melihat pelanggaran terhadap hukum Allah.

Contoh Ketika Rasulullah Marah

1.    Pelanggaran Terhadap Hak-Hak Allah Rasulullah marah ketika melihat ada pelanggaran terhadap perintah atau larangan Allah. Salah satu contohnya adalah ketika seseorang melanggar kesucian hari Jumat atau hal-hal yang merusak kehormatan masjid. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah dikisahkan memerintahkan tindakan tegas terhadap perilaku yang tidak menghormati kesucian tempat ibadah atau waktu-waktu tertentu.

2.    Ketidakadilan atau Ketidakbenaran Rasulullah pernah marah ketika ada yang berbuat tidak adil atau zalim. Ketika ada seseorang yang menuduh tanpa dasar yang benar atau ketika beliau melihat ada yang menyakiti orang lain dengan sengaja, beliau menegurnya dengan tegas. Sebagai contoh, dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Rasulullah pernah marah ketika melihat adanya perilaku kasar atau menyakiti seorang budak.

3.    Marah karena Kesalahan yang Berulang Rasulullah marah dalam bentuk peringatan tegas jika seseorang terus mengulangi kesalahan atau kemaksiatan yang telah dilarang. Misalnya, ada hadits yang menceritakan beliau menegur sahabat yang berkali-kali mengulangi kesalahan yang sama, namun selalu dalam bingkai kelembutan dan harapan agar mereka memperbaiki diri.

Karakter Marah Rasulullah

  • Tidak Pernah Marah karena Diri Sendiri: Beliau tidak pernah marah ketika dirinya disakiti atau direndahkan, bahkan beliau memaafkan mereka yang berbuat jahat padanya.
  • Mengontrol Amarahnya: Rasulullah selalu mengendalikan diri saat marah. Beliau tidak berkata kasar atau melakukan tindakan yang menyakiti fisik.
  • Memberi Solusi: Ketika marah, Rasulullah tidak hanya menegur tapi juga memberi solusi dan arahan agar orang yang ditegur dapat memperbaiki kesalahannya.

Dalil tentang Amarah dalam Islam

Dalam Al-Quran, Allah menyebutkan sifat menahan amarah sebagai sifat yang terpuji:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"Dan (bagi) orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."
(QS. Ali Imran: 134)

Contoh Teladan Ulama

Para ulama pun mencontoh Rasulullah dalam hal ini. Mereka hanya marah jika melihat kemaksiatan atau ketidakadilan yang nyata, tapi tetap menahan diri dan mengarahkan kemarahan mereka untuk memberi peringatan atau solusi yang membangun.

Dengan memahami bagaimana Rasulullah mengontrol amarah, kita bisa belajar menahan diri dan marah hanya untuk tujuan yang benar, selalu menjaga sikap dalam bingkai kebaikan.

 

Hadits "لا تغضب ولك الجنة" atau "Jangan marah, maka bagimu surga," adalah nasihat dari Rasulullah yang ringkas namun sangat mendalam maknanya. Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa ulama, termasuk Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan pesan utamanya adalah untuk mengendalikan amarah, sebuah sifat yang sulit namun mendatangkan pahala besar bagi orang yang mampu menahannya.

Penjelasan Hadits

1.    Makna "Jangan Marah"
Rasulullah
menasihatkan kita untuk menahan atau mengendalikan amarah, bukan hanya karena marah itu sendiri tidak bermanfaat, tetapi karena seringkali amarah mengarahkan manusia pada tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Rasulullah tahu bahwa menahan amarah adalah salah satu tantangan terbesar dalam kehidupan manusia, dan oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya kontrol diri dalam menghadapi situasi yang memicu amarah.

2.    Pahala Surga bagi yang Menahan Amarah
Dalam hadits ini, Rasulullah
mengaitkan menahan amarah dengan balasan surga. Hal ini menunjukkan betapa besar ganjaran bagi orang yang mampu menahan emosinya dan memilih untuk bersabar. Amarah yang dikendalikan bisa mendekatkan seseorang kepada Allah dan menjauhkannya dari tindakan dosa yang bisa merusak hubungan sosial maupun ibadahnya.

 

Imam Asy-Syafi'i rahimahullah terkenal dengan kemampuannya menahan amarah. Suatu kali, ada seseorang yang berbicara kasar kepadanya, namun beliau menanggapinya dengan tenang. Ketika ditanya kenapa tidak membalas orang tersebut, Imam Asy-Syafi'i menjawab, "Jika aku marah, aku hanya menambah kesenangan bagi syaitan dan kerugianku sendiri."

Contoh dari Imam Asy-Syafi'i ini mencerminkan bagaimana seorang ulama besar memilih untuk tidak larut dalam amarah dan lebih mengutamakan ketenangan serta pemaafan dalam menghadapi gangguan dari orang lain.

 

Surat Al-Hujurat Ayat 11:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَـٰئِكَ هُمُ الظَّـٰلِمُونَ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, bisa jadi mereka (yang direndahkan) lebih baik daripada mereka (yang merendahkan). Dan jangan pula perempuan-perempuan (merendahkan) perempuan lain, bisa jadi perempuan (yang direndahkan) lebih baik daripada perempuan (yang merendahkan). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Definisi Kata-Kata Kunci:

1.    يسخر (yaskhar) - Merendahkan atau mengejek.

2.    يلمز (yalmiz) - Mencela atau menyakiti perasaan.

3.    ألقاب (alqab) - Gelar atau julukan yang merendahkan.

4.    الفسوق (al-fusuq) - Tindakan fasik atau pelanggaran setelah beriman.

Hadits yang Relevan:

1.    Dari Abu Hurairah r.a., Nabi bersabda:

"Cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia meremehkan saudaranya sesama Muslim." (HR. Muslim)

2.    Dari Abu Darda’ r.a., Rasulullah bersabda:

"Barang siapa menjaga kehormatan saudaranya dari gunjingan, Allah akan menjaga wajahnya dari api neraka pada hari kiamat." (HR. Tirmidzi)

Contoh dalam Kehidupan Sehari-Hari:

  • Merendahkan Sesama: Seorang siswa yang mengejek temannya karena nilai yang lebih rendah atau kondisi fisiknya. Dalam Islam, perbuatan ini dilarang karena hanya Allah yang tahu siapa yang lebih mulia di sisi-Nya.
  • Memberi Julukan Buruk: Memanggil teman dengan julukan yang tidak disukai, seperti “si gendut” atau “si bodoh.” Ini adalah perbuatan yang bisa melukai perasaan orang lain, bahkan merusak persaudaraan.
  • Mencela Diri Sendiri: Hal ini bisa diartikan sebagai saling mencela sesama Muslim, karena dalam Islam, setiap Muslim dianggap satu tubuh. Jika kita mencela seorang Muslim, sama saja kita mencela diri sendiri.

 

Surat Al-Hujurat Ayat 12:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًۭا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌۭ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًۭا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌۭ رَّحِيمٌۭ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang."

Definisi Kata-Kata Kunci:

1.    الظن (az-zhan) - Prasangka, biasanya diartikan sebagai asumsi buruk tanpa dasar.

2.    تجسس (tajassus) - Mengintai atau mencari kesalahan orang lain.

3.    غيبة (ghibah) - Menggunjing, yaitu membicarakan keburukan orang lain di belakangnya.

Hadits yang Relevan:

1.    Nabi bersabda:

"Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan. Jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan saling memata-matai, jangan saling mendengki, jangan saling membenci, dan jangan saling berpaling. Jadilah hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)

2.    Tentang ghibah, Nabi bersabda:

“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kamu menyebutkan sesuatu yang tidak disukai saudaramu di belakangnya.” Kemudian para sahabat bertanya, “Bagaimana jika apa yang saya katakan itu benar?” Beliau menjawab, “Jika benar, maka itu ghibah. Jika tidak benar, maka itu adalah fitnah.” (HR. Muslim)

Contoh dalam Kehidupan Sehari-Hari:

  • Prasangka Buruk: Misalnya, melihat seseorang dengan penampilan sederhana lalu berpikir bahwa orang tersebut mungkin kurang berpendidikan atau miskin. Prasangka tanpa bukti ini bisa melahirkan dosa.
  • Mencari Kesalahan Orang Lain: Sering terjadi di media sosial, di mana seseorang mencari kesalahan publik figur atau teman untuk dibicarakan. Tindakan ini sangat dilarang dalam Islam.
  • Menggunjing (Ghibah): Ketika seseorang membicarakan kekurangan atau kesalahan orang lain di belakangnya, ini disebut ghibah. Hal ini bisa terjadi dalam lingkungan kerja atau pertemanan, saat membicarakan seseorang dengan maksud mempermalukan atau merendahkannya.

Pelajaran dari Ayat 12:

1.    Menghindari Prasangka Buruk: Prasangka yang buruk tanpa bukti adalah perbuatan tercela. Kita diajarkan untuk berprasangka baik atau menjaga diri dari asumsi-asumsi yang tidak berdasar.

2.    Tidak Mencari Kesalahan Orang Lain: Setiap individu sebaiknya sibuk memperbaiki diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang lain. Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan orang lain.

3.    Menjaga dari Ghibah: Ghibah adalah tindakan yang dianggap sangat buruk dalam Islam. Menggunjing saudara sesama Muslim ibarat memakan dagingnya saat ia mati, yang mengisyaratkan betapa jijik dan buruknya perbuatan ini.

4.    Takwa dan Tobat: Ayat ini diakhiri dengan anjuran untuk bertakwa dan bertobat, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Setiap Muslim yang terjebak dalam perilaku ini dianjurkan untuk segera bertobat dan memperbaiki diri.

 

Kesimpulan: Ayat 11 dan 12 dari Surat Al-Hujurat mengajarkan kita untuk menjaga adab dalam pergaulan, menghindari sikap merendahkan, dan selalu menghormati kehormatan serta privasi sesama. Sikap ini tidak hanya akan menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat, tetapi juga mencerminkan akhlak Islam yang luhur dan memperkuat persaudaraan umat Muslim.

teks Arab dari hadits-hadits yang relevan dengan penjelasan ayat 11 dan 12 Surat Al-Hujurat:

1.    Hadits tentang larangan merendahkan orang lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْتَقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ.

Artinya: "Cukuplah seseorang dianggap melakukan keburukan jika dia meremehkan saudaranya sesama Muslim." (HR. Muslim)

2.    Hadits tentang menjaga kehormatan saudara dari gunjingan:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Artinya: "Barang siapa menjaga kehormatan saudaranya dari gunjingan, Allah akan menjaga wajahnya dari api neraka pada hari kiamat." (HR. Tirmidzi)

3.    Hadits tentang prasangka, mencari kesalahan, dan ghibah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا تَحَسَّسُوْا وَلَا تَبَاغَضُوْا وَلَا تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا.

Artinya: "Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan. Jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan saling memata-matai, jangan saling mendengki, jangan saling membenci, dan jangan saling berpaling. Jadilah hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)

4.    Hadits tentang definisi ghibah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.

Artinya: “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kamu menyebutkan sesuatu yang tidak disukai saudaramu di belakangnya.” Kemudian para sahabat bertanya, “Bagaimana jika apa yang saya katakan itu benar?” Beliau menjawab, “Jika benar, maka itu ghibah. Jika tidak benar, maka itu adalah fitnah.” (HR. Muslim)

Berikut adalah hadits tentang ghibah yang lebih berat dari zina:

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ: إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَسْتَسِبَّ الرَّجُلُ لِوَالِدَيْهِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَغْتَابُهُمْ حَتَّى يَفُوقَ زِنَاهُمْ، وَذِكْرُهُمْ بِغَيْبَتِهِمْ لَيَكُونُ أَشَدَّ عَلَيْهِمْ مِنَ الزِّنَى.

Hadits ini menunjukkan betapa besarnya dosa ghibah, yang digambarkan bahkan bisa lebih berat daripada dosa zina karena pengaruhnya yang dalam pada kehormatan dan perasaan orang yang dibicarakan. Meski derajat sanad ini masih diperdebatkan, para ulama sepakat bahwa ghibah adalah dosa besar yang harus dihindari.

 

KALAU ADA ORANG MAKSIAT MAKA YANG DI BENCI ADALAH MAKSIATNYA BUKAN ORANGNYA.

SEPERTI ORANG PUNYA BISUL DI TANGANNYA MAKA YANG DIBENCI ADALAH BISULNYA BUKAN ORANGNYA SAMBIL DIA MENGOBATI BISUL AGAR HILANG DARI TUBUHNYA. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

86 للمرائي

106. CALON PENGHUNI SURGA

95. FADILAH SURAT AL-MULK